Cari Blog Ini

Sabtu, 22 Maret 2025

Pemerintahan di Heerah

💬 : 0 comment
SEJAK KORESY AGUNG (Cyrus The Great) (557-529 SM) mempersatukan bangsa Persia, mereka menguasai Irak dan wilayah sekitarnya. Tidak ada yang mampu menggoyang kekuasaan mereka hingga Alexander Agung mengalahkan Raja Persia Darius I dan menaklukkan Persia pada 326 SM. Wilayah Persia kemudian terpecah dan diperintah oleh raja-raja yang dikenal sebagai “Raja-Raja Sekte”, suatu era yang bertahan hingga 230 M. Sementara itu, suku Qahtan menguasai sebagian wilayah Irak, disusul oleh sebagian suku ‘Adnan yang berhasil membagi wilayah Mesopotamia dengan mereka.   

Orang Persia, di bawah kepemimpinan Ardashir yang mendirikan Kekaisaran Sassania pada 226 M, kembali memperoleh persatuan dan kekuatan untuk menundukkan bangsa Arab di sekitar kerajaan mereka. Mereka memaksa suku Quda‘a pindah ke Suriah, meninggalkan penduduk Hirah dan Anbar di bawah kekuasaan Persia.  

Pada masa Ardashir, Juzaima Alwaddah  memerintah atas Hirah, Rabi’ah, Mudar, dan Mesopotamia. Ardashir menyadari bahwa mustahil baginya untuk langsung menguasai bangsa Arab dan mencegah serangan ke perbatasan kecuali ia mengangkat seorang raja dari kalangan mereka yang memiliki dukungan suku. Ia juga melihat bahwa mereka bisa dimanfaatkan untuk melawan Romawi yang terus mengganggu. Di sisi lain, bangsa Arab Irak dapat menghadapi bangsa Arab Suriah yang berada di bawah kekuasaan Romawi. Namun, Ardashir tetap menempatkan pasukan Persia di bawah komando Raja Hirah untuk menghadapi pemberontakan Arab.  

Setelah kematian Juzaima sekitar 268 M, Amr bin ‘Adi bin Nasr Al-Lakhmi diangkat sebagai raja oleh Raja Persia Sabour bin Ardashir. ‘Amr adalah raja pertama dari Dinasti Lakhmi yang memerintah Hirah hingga Persia mengangkat Qabaz bin Fairuz. Pada masa Qabaz, muncul seorang bernama Mazdak yang menyerukan kebebasan radikal dalam kehidupan sosial. Qabaz dan banyak rakyatnya memeluk ajaran Mazdak, bahkan memerintahkan Raja Hirah, Al-Munzir bin Ma’ As-Sama’, untuk mengikuti. Namun, Al-Munzir menolak karena harga diri dan keangkuhannya. Qabaz lalu memecatnya dan mengangkat Harith bin ‘Amr bin Hajar Al-Kindi yang menerima ajaran Mazdak.  

Begitu Kisra Anu Shairwan menggantikan Qabaz, ia membunuh Mazdak dan pengikutnya karena menentang filosofinya, lalu mengembalikan Al-Munzir ke takhta Hirah. Harith, yang mencari perlindungan pada suku Kalb, menghabiskan sisa hidupnya di sana.  

Keturunan Al-Munzir bin Ma’ As-Sama’ bertahan lama dalam kekuasaan hingga An-Nu‘man bin Al-Munzir naik takhta. Karena fitnah dari Zaid bin ‘Adi Al-‘Abbadi, Raja Persia murka dan memanggil An-Nu‘man ke istana. An-Nu‘man diam-diam pergi ke Hani bin Mas‘ud, pemimpin suku Shaiban, menitipkan harta dan keluarganya, lalu menghadap Raja Persia yang langsung memenjarakannya hingga ia wafat. Kisra lalu mengangkat Eyas bin Qubaisa At-Ta’i sebagai Raja Hirah dan memerintahkannya meminta Hani menyerahkan titipan An-Nu‘man. Saat Raja Persia menerima penolakan tegas dari Hani, ia menyatakan perang terhadap suku Shaiban. Pasukan Persia dipimpin Eyas bertempur di Dzi Qar, di mana mereka dikalahkan telak oleh bangsa Arab untuk pertama kalinya dalam sejarah. Peristiwa ini terjadi tak lama setelah kelahiran Nabi Muhammad ﷺ (8 bulan setelah Eyas berkuasa).  

Setelah Eyas, penguasa Persia diangkat di Hirah. Namun, pada 632 M, kekuasaan kembali ke keluarga Lakhmi ketika Al-Munzir Al-Ma‘rur naik takhta. Baru 8 bulan memerintah, Khalid bin Walid menyerangnya dengan pasukan Muslim.  

 Catatan:  
- Istilah sejarah dan nama tokoh dipertahankan sesuai ejaan Indonesia (misal: Hirah, Kisra, Dzi Qar).  
- Kronologi dan detail peristiwa dijaga akurasi sesuai teks asli.  
- Tanda **ﷺ** (Sallallahu Alaihi Wasallam) digunakan untuk menghormati Nabi Muhammad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar